maksud surah Yusuf ayat 101
SBMPTN
weldaanggraini7725
Pertanyaan
maksud surah Yusuf ayat 101
1 Jawaban
-
1. Jawaban InbArtN
Ini adalah do’a Yusuf kepada Rabbnya, setelah nikmat yang diberikan kepadanya sempurna dengan dapat berkumpulnya ia dengan bapak, ibu dan saudara-saudaranya, dan anugerah lain yang berupa kenabian dan kekuasaan (kerajaan). Dia memohon kepada Rabbnya agar nikmat yang sempurna yang telah diterimanya di dunia ini berlanjut di akhirat nanti, dan agar ia diwafatkan dalam keadaan Islam [-demikian menurut adh-Dhahhak-] serta digabungkan dengan orang-orang yang shalih, yaitu saudara-saudaranya para Nabi dan Rasul, semoga shalawat dan salam terlimpah atas mereka seluruhnya.
Ada kemungkinan do’a ini diucapkan Yusuf pada waktu menjelang wafatnya sebagaimana disebutkan dalam ash-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) dari `Aisyah radhiallahu `anha bahwa Rasulullah mengangkat jarinya tatkala menjelang wafat dan berkata: “AllaHumma firrafiiqil a’la”, tiga kali.
Dan ada kemungkinan dia berdo’a memohon agar wafat dalam keadaan Islam dan bergabung dengan orang-orang shalih sewaktu ajalnya datang dan umurnya telah habis. Bukan memohon hal tersebut terjadi seketika itu, seperti yang dikatakan orang yang mendo’akan orang lain: “Semoga Allah mewafatkanmu dalam keadaan Islam,” atau berdo’a dengan mengatakan: “Ya Allah, hidupkan kami dalam keadaan muslim dan matikan kami dalam keadaan muslim dan gabungkan kami dengan orang-orang yang shalih.”
Ada kemungkinan pula dia berdo’a agar permohonannya dikabulkan seketika itu juga. Hal ini dibolehkan dalam agama mereka seperti dikatakan oleh Qatadah.
Firman Allah: tawaffanii muslimaw wal hiqnii bish shaalihiin (“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.”) Setelah Allah mengumpulkan keluarganya dan menyenangkan hatinya, sedangkan saat itu ia bergelimang di dunia dengan kekuasaan dan kemakmuran, maka dia merindukan pertemuan dengan orang-orang shalih sebelumnya.
Ibnu `Abbas berkata: “Tidak ada seorang Nabi pun sebelum Yusuf as. yang mengharapkan kematian, tetapi hal ini tidak diperbolehkan dalam syari’at kita.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian karena bahaya yang menimpanya, jika ia dalam keadaan terpaksa mengharapkan kematian, maka hendaklah mengatakan: ‘Ya Allah, hidupkanlah aku kalau memang hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku kalau memang mati itu lebih baik bagiku.’”
Hadits ini juga diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut: “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian karena bahaya yang menimpanya, karena kalau ia orang baik maka akan bertambah lagi kebaikannya, dan bila ia orang buruk ada kemungkinan ia bertaubat. Tetapi hendaklah mengatakan: ‘Ya Allah, hidupkanlah aku kalau
memang hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku kalau memang mati itu lebih baik bagiku.’”
Hal tersebut jika bahaya itu hanya mengancam dirinya, tetapi jika bahaya itu mengancam agamanya, maka seseorang diperbolehkan mengharapkan kematian, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang menceritakan tukang-tukang sihir Fir’aun yang diancam agamanya setelah mereka beriman bersama Musa, dan diancam pula akan dibunuh, maka mereka berkata: “Ya Rabb kami, limpahkanlah kepada kami kesabaran dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim.” (QS. Al-A’raaf: 126)
Maryam berkata ketika ia merasa sakit saat akan melahirkan anak yang memaksa ia bersandar pada pangkal pohon kurma: “Mengapa aku tidak mati saja sebelum ini dan aku menjadi orang yang tidak berarti lagi dilupakan,” (QS. Maryam: 23) setelah ia mengetahui bahwa orang-orang menuduhnya berzina, karena dia tidak bersuami, tetapi ternyata hamil dan melahirkan anak. Mereka mengatakan: “Wahai Maryam, kamu telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar. Wahai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat, dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam 27-28)
Maka, Allah memberikan pertolongan dan jalan keluar dari keadaan itu dan membuat bayi yang masih dalam ayunan itu mampu berbicara bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Maka, ia (Isa as) menjadi ayat (tanda) keagungan Allah dan mukjizat yang cemerlang.
Dalam hadits Mu’adz yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi tentang kisah mimpi dan do’a, disebutkan: “Apabila Engkau menghendaki terjadinya fitnah pada suatu kaum, maka panggillah aku menghadapmu (wafatkanlah aku) tanpa mengalami fitnah.” Tatkala terjadi fitnah yang menimpa agama, maka diperbolehkan berdo’a memohon kematian.
Oleh karena itu, `Ali bin Abi Thalib pada akhir masa kekhalifahannya, setelah melihat bahwa urusan umat tidak dapat dikuasainya, bahkan suasana semakin meruncing, `Ali berkata: “Ya Allah, panggil sajalah aku menghadapmu, karena aku sudah bosan dengan mereka dan mereka pun sudah bosan denganku.”
Al-Bukhari rahimahullah, setelah terkena fitnah, dan terjadi masalah antara dia dan amir (penguasa) Khurasan, ia berkata: “Ya Allah, wafatkanlah aku kepada-Mu.